Jumat, 29 Maret 2013

Untukmu bapak penjual bakso

Malam ini rasa lapar plus kehabisan uang di dompet akhirnya mengalahkan rasa malas. Sekitar jam 8 malam, saya keluar ke salah satu swalayan dekat kos dengan niat ambil uang di ATM lalu pulangnya mampir beli makan. Dari kosan sudah terpikir mau beli nasi uduk. Tapi, saat berangkat, saya melewati penjual bakso keliling yang sedang mangkal dekat masjid yg saya lewati. Penjual bakso yang, entah beberapa kali saya ingin membeli bakso darinya tapi belum kesampaian.
Saya terus berjalan ke swalayan. Segera setelah tarik tunai dan membeli beberapa cemilan, saya pun pulang. Dalam perjalanan, saya bertanya2 sendiri
"Tukang baksonya masih ada gak ya?",
"Beli bakso atau nasi uduk ya? Sebenernya pengen makan nasi, tapi...",
"Yaudahlah, kalo nanti tukang baksonya masih di tempat tadi, aku beli bakso aja".
Dan tukang bakso ternyata masih ada di tempat yang sama seperti saat saya berangkat tadi. Bismillah...aku mau beli bakso saja.
"Bapak, mau beli bakso 1(bungkus)"
Beliau tersenyum dan bertanya "pake mie apa neng?"
"campur aja pak"
Penjual bakso ini terbilang sudah sepuh. Mungkin 60 tahun ke atas. Tampilannya begitu sederhana dan bersahaja. Sebetulnya kenapa saya ingin membeli bakso ini karena rasanya tak tega melihat beliau. Selain itu juga kagum, beliau terlihat sabar dan setia menunggu dagangannya, tidak terlihat lelah. Entahlah, saya memang mudah tersentuh oleh hal semacam ini. Seringkali ingin membeli sesuatu karena kasihan melihat penjualnya, terlebih lagi bapak-bapak atau ibu-ibu tua yang sudah berumur. Dalam benak saya, mereka luar biasa. Dengan tubuh yang tak lagi muda, mereka tetap bersemangat mencari nafkah, benar2 berusaha. Simpati saya jauh lebih besar kepada mereka dibanding peminta2 di jalan, yang tak sedikit pula sengaja membawa anak kecil atau bahkan bayi bersamanya. Membiarkan bayi2 itu menghirup asap polusi Jakarta, mengajari mereka untuk meminta2 tanpa berusaha. Setidaknya, begitulah pikiran saya berjalan.

Tangan bapak penjual bakso mulai mengerjakan pesanan saya dengan pelan. Tak masalah bagi saya, saya tidak sedang terburu2. Lagipula saya tidak akan tega menyuruhnya untuk cepat-cepat. Awalnya saya berniat menunggu sambil bermain handphone, tapi saya mengurungkan niat itu. Saya pikir, saya harus menghargai beliau sebagai orang yg lebih tua, meskipun beliau hanya penjual bakso.
"pake sambel neng?" Bapak tadi kembali bertanya ramah pada saya.
"iya pak", jawab saya.
Sesaat kemudian, pesanan saya selesai.
"Berapa pak?"
"7000. Pulangnya jauh neng?"
"gak pak, deket, situ aja. Ini pak, terimakasih ya pak?"
Saya pun berlalu. Tujuh ribu rupiah saja, harganya tentu sangat jauh dengan bakso2 yang dijual di tempat2 makan di jakarta. Sebenarnya saya ingin memberi beliau lebih, tapi agak segan juga, takutnya beliau merasa tidak nyaman. Porsi baksonya memang sedikit minimalis, tapi rasa tak jauh berbeda dengan bakso2 ala restoran, menurut saya.
Selama menunggu pesanan tadi, saya sempat melihat2 gerobak bakso bapak. Bahan2 yang ada sangat sedikit. Entah karena memang sudah laris, atau memang beliau hanya menyiapkan sedikit porsi aja. Mengingat, setiap kali saya melihat beliau, hanya satu atau dua kali saya melihat pembeli mampir. Saya jadi berpikir, mungkin beliau tahu berapa porsi bakso yg biasa terjual sehingga dia tahu harus menyiapkan bahan2 sebanyak apa. Meskipun begitu, saya berdoa semoga dagangan beliau memang sudah laris, jadi bahan2nya tinggal sedikit (aamiin).

Satu pikiran melintas dalam benak saya. Alloh lah yang menggerakan hambaNya. Saya pun berpikir, seandainya Alloh tidak menggerakan saya untuk bangkit dari kemalasan, mungkin berkurang 1 porsi jualan bapak tadi. Tidak, semuanya memang sudah diatur olehNya dengan begitu rupa.

Bapak penjual bakso, yang bahkan saya tak tahu namanya. Semoga Alloh tetap kuatkan hatimu untuk mencari nafkah dengan cara halal dengan penuh semangat. Semoga Alloh berikanmu dan keluargamu kesehatan, kemudahan rezeki. Jika aku bukan perantara rezeki untukmu, semoga Alloh turunkan perantara2 rezeki yang lain. Dan semoga Alloh ampunkan dosamu karena kau telah bersyukur padaNya dengan tetap giat bekerja. Aamiin...

Selasa, 26 Maret 2013

Little steps, hang out, get fresh air, and recall memories

Pedestrian track in front of I building

Depan plasa mahasisa (Plasma) sekarang sudah teduh untuk bersantai

Beberapa tahun lalu, seperti berada di persimpangan, memilih sekolah ini atau universitas impian yang begitu diidamkan

just old stem of a plant

Kampus yang akhirnya kupilih dan aku bangga menjadi lulusan STAN

Merah putih berkibar di gerbang STAN, mari berbuat yang terbaik untuk negeri ^___^

Memory of March, 24th 2013 @kampus STAN, Bintaro

Selasa, 12 Maret 2013

Belajar dari anak-anak

Hari ini saya pergi mengunjungi salah seorang teman kantor yang baru saja melahirkan anak keduanya, 5 hari lalu. Di samping bayi mungil yang sedang digendong sang nenek, kakaknya yang berusia kurang lebih 5 tahun sedang asyik menggambar. Dengan bermediakan kertas bekas 'print out' yang tak terpakai sambil mengayunkan pulpen, dia membuat bermacam gambar. Salah satunya angry birds.

Gambarnya ya khas gambar anak2, beberapa banyak yang susah ditebak itu gambar apa. Tapi dia bisa menjelaskan. Dengan gambarnya, dia juga memeragakan, bagaimana birds seolah2 dilempar dari ketapel dan mengenai babi-babi. Dia menceritakan dengan penuh tawa dan kepuasan. Dia bahagia.

Melihat hal itu, saya tersenyum sendiri. Saya kemudian berpikir, sungguh sederhananya bahagia menurut anak2. Hanya bermodalkan pulpen dan kertas bekas. Saya jadi ingat masa kecil saya. Di belakang rumah saya dulu, ada tanah yang cukup tinggi dan miring. Sore hari, terkadang saya bermain "prosotan" di situ dengan adik dan teman2 saya. Puas sekali rasanya. Seperti berselancar memakai papan luncur. Baju kotor, pastinya. Ditegur ibu saat masuk rumah, cuma tertawa.
Ada juga sepupu saya, umurnya baru 3. Bangun tidur, dia langsung pergi melihat anak ayamnya yang baru menetas. Mengajak kakak saya untuk melihat anak ayamnya. Dia berteriak kegirangan, bersorak bahagia hanya dengan mengamati anak ayamnya.

Anak anak dengan keluguannya, bisa bahagia dgn mudahnya, dengan cara sederhana. Tidak seperti orang dewasa. Sepertinya, standar bahagia menjadi semakin tinggi dan rumit. Harta, jabatan, dan sebagainya. Seringkali terlalu takut tidak akan bahagia jika tidak bisa mencapai standar itu. Akhirnya, termakan oleh pemikiran sendiri. Mengejar ini itu hanya untuk kepuasan duniawi. Dibayangi oleh ketakutan2 yang diciptakan sendiri.

Kita perlu belajar dari anak anak tentang sederhananya sebuah kebahagiaan. Tak perlu standar yang tinggi. Tak perlu takut pada bayangan2 risiko yang mungkin akan muncul. Hadapi saja, lanjutkan saja. Lupakan rasa takutmu dan ciptakan kebahgiaanmu sendiri.

Dan selalu bersyukur pastinya, atas segala yang kita punya. Agar lebih bahagia. ^_____^